Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
Anak-anakku yang berbahagia!
Pada saat-saat seperti sekarang ini, di mana kami merasa begitu
bangga melihat wajah-wajah cerah dan tegar kalian, di mana kalian semua begitu
optimis dan percaya diri untuk segera mengakhiri perjalanan panjang kalian yang
melelahkan di almamater tercinta ini, untuk menyongsong masa depan kalian yang
penuh harapan…. Rasanya, setiap kita (kami dan kalian semua) pantas untuk
bertanya dalam hati masing-masing: Dalam suasana seperti ini, kata-kata apakah
yang paling tepat diungkapkan untuk mewakili perasaan dan tekad kita
masing-masing?
Anak-anakku!
Kiranya, tidak ada ungkapan yang lebih tepat untuk kita ikrarkan dalam hati,
untuk kita ucapkan, dan untuk kita amalkan dengan jawârih kita masing-masing,
kecuali seperti apa yang pernah dicetuskan oleh Nabi Sulaiman a.s. dan
disebutkan dalam Al-Qur`an,
“Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku
bersyukur atau kufur (terhadap nikmat-Nya). Barang siapa bersyukur, maka
sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa
kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia.” (an-Naml [27]: 40)
Ya, setelah mengakui bahwa segalanya ini merupakan karunia Allah SWT, kita
hanya dihadapkan kepada dua alternatif: “bersyukur atau kufur”. Tidak ada
pilihan lain. Karena itu, pandai-pandailah kita memilih, ariflah kita memahami
dan menyikapi pilihan kita itu, dan bijaksanalah kita dalam mengaplikarikannya
dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, hanya mereka yang âlim, ârif, dan hakîm
sajalah yang mampu melewati kehidupan ini dengan selamat dan sukses.
Dalam hal ini, marilah kita memilih bersyukur menurut arti yang
sebenarnya, yaitu mengakui dengan hati dan lisan setiap pemberian apapun yang
kita terima sebagai kebaikan si pemberi, berusaha mempergunakannya sesuai
dengan kehendak si pemberi, berusaha mengembangkannya seoptimal mungkin, dan
berusaha membalas pemberiannya dengan kebaikan atau pembelaan. Itulah hakekat
syukur yang sebenarnya.
Anak-anakku yang aku cintai!
Hari-hari ini adalah hari-hari terakhir kita berkumpul,
bermuwajahah, bercakap-cakap dalam suasana penuh kekeluargaan, seperti yang
telah sering kita lakukan bersama selama ini secara formal, sebagai santri dan
anak-anak kami di pondok yang sangat kita cintai ini.
Tidak lama lagi, suasana itu akan berubah. Secara formal, kalian
tidak akan lagi seperti hari-hari ini dan hari-hari kemarin. Kalian akan
memperoleh predikat baru, panggilan dan sebutan baru, yaitu sebagai “alumni.”
Suatu predik`t yang begitu indah dan agung, suatu panggilan yang menjadi
dambaan setiap orang yang menuntut ilmu dalam lembaga pendidikan formal. Tetapi
kalian harus sadar bahwa di balik predikat tersebut sebenarnya terdapat suatu
amanah dan tanggung jawab yang cukup berat. Kalian harus membuktikan bahwa
kalian memang benar-benar berhak untuk menyandang predikat tersebut. Bukankah
keberhasilan suatu lembaga itu memang dinilai melalui produknya? Tidak bisa
semata-mata dilihat dari kelengkapan atau kecanggihan fasilitas, sarana,
sistem, atau bahkan tidak juga dari kehebatan pimpinan atau guru-gurunya.
Sungguh, citra pondok dan almamater ini selanjutnya benar-benar dipertaruhkan
di atas pundak kalian.
Anak-anakku yang berbahagia!
Bagi kita, hari-hari ini bisa berarti benar-benar yang paling
akhir jika Allah SWT menghendaki demikian. Setelah perpisahan nanti, mungkin
saja kita tidak akan pernah bertemu lagi, karena salah satu di antara kita—kami
atau kalian—lebih dulu dipanggil ke haribaan Allah SWT. Tidak seorang pun dari
kita mengetahui kapan dan di mana kita akan mati. Allah SWT berfirman,
“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti)
apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat
mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha
Mengenal.” (Luqman [31]: 34).
Jika demikian, maka anggaplah kata-kata kami ini sebagai wasiat
terakhir kami kepada kalian, sebagai kata perpisahan paling akhir dalam
perjalanan hidup kita di dunia yang fana ini. Di hadapan pengadilan Sang
Mahaadil kelak, semuanya itu akan terbukti, dibuktikan, dan
dipertanggungjawabkan.
Tetapi, hari-hari ini bisa juga “bukanlah yang paling akhir”. Jika Allah SWT
masih memberi kita kesempatan untuk berjumpa lagi setelah ini, insya Allah kami
tidak akan pernah bosan untuk mengulang-ulang kembali apa yang kami sampaikan
ini, tentu saja dalam suasana dan proporsi yang berbeda dengan hari-hari kita
yang telah lewat. Insya Allah, kami tidak akan pernah berhenti untuk terus
mengingatkan kalian kepada yang lalu, untuk menambah atau melengkapi apa yang
telah kami berikan kepada kalian selama ini. Sebab kalian adalah anak-anak
kami, saudara-saudara kami, anggota keluarga kami…sampai kapan pun dan di mana
pun kalian berada. Periode kehidupan yang kalian lewati di pondok ini merupakan
periode yang sangat signifikan dan “menentukan” bagi hitam-putihnya perjalanan
hidup kalian selanjutnya. Karena itu, rasanya terlalu naif untuk melupakan masa-masa
tersebut begitu saja.
Terus terang saja, kami sebenarnya memiliki “kepentingan atau
pamrih” tertentu pada kalian. Dan kami tahu pasti apa yang menjadi pamrih kami
tersebut, yaitu suatu pamrih yang bersumber dari rasa kasih sayang dan ikatan
persaudaraan lil-Lâhi Ta’âlâ, suatu pamrih yang mengarah pada tegaknya syi’ar
agama Islam di muka bumi ini, li ’izzil-Islâm wal-Muslimîn.
Anak-anakku yang berbahagia!
Percayalah, orang tua yang sebenar-benarnya tidak akan pernah
bosan melihat anaknya. Orang yang mencintai sesuatu, orang yang punya pamrih,
orang yang memiliki kepentingan terhadap sesuatu…pasti tidak akan mengenal
istilah bosan atau kapok. Jika tidak berhasil satu kali, pasti akan dicobanya
lagi, lagi dan lagi, sampai ia berhasil.
Maka, sadarlah selalu, Anak-anakku … Kalian adalah orang yang
berharga. Karena itu, hargailah diri kalian. Tapi jangan sekali-kali minta
dihargai. Orang yang meminta-minta dihargai biasanya memang tidak berharga.
Hargai diri kalian sesuai dengan harga yang sebenarnya. Jangan terlalu mahal,
sehingga kalian tidak laku dan dijauhi orang. Tapi juga jangan terlalu murah,
sehingga akhirnya kalian menjadi orang-orang yang tidak berharga sama sekali.
Dan yang terpenting, letakkanlah diri kalian pada tempat yang berharga, agar
harga diri kalian tetap tinggi dan tidak jatuh.
Jangan jadi anak hilang, dan jangan menghilangkan diri sendiri.
Kaitkanlah hati kalian dengan pondok dan almamater kalian, insya Allah kalian
akan menjadi orang-orang mulia. Ingat kepada almamater, berarti kalian pandai
berterimakasih. Karena itu, pandai-pandailah berterimakasih pada sesama, pasti
kalian pandai bersyukur kepada Allah SWT. Camkanlah dan renungkanlah…
Di hati kami, kalian adalah pahlawan pejuang harapan kami.
Menangkanlah perjuangan ini!
Di mata kami, kalian adalah anak-anak manis kebanggaan kami. Jangan kecewakan
kami dengan sikap dan prilaku tercela!
Bagi kami, kalian adalah cermin, tempat kami melihat wajah kami,
wajah pondok ini. Pada pribadi dan akhlak kalianlah, wajah pondok dan almamater
yang sebenarnya akan terpantul di tengah-tengah masyarakat. Hati-hatilah!
Bagi kami, kalian adalah segala-galanya. Dan di pundak kalian
terletak masa depan pondok ini, masa depan umat ini. Ingatlah itu!
Demikianlah cetusan jiwa dan perasaan kami kepada kalian saat
ini dan saat yang akan datang. Begitulah harapan, obsesi dan tekad kami
selamanya. Semoga anak-anakku juga merasakan hal yang serupa, dapat menimbang
rasa, dan tidak mengecewakan harapan-harapan kami tersebut.
Selamat jalan, Anak-anakku…
Selamat berjuang, Pahlawanku…
Selamat mengabdi dan mengembangkan diri!
Doa-doa tulus kami akan tetap selalu mengiringi setiap derap
langkah kalian.
Gurumu Yang Selalu Mengharapkanmu
KH. Muhammad Idris Jauhari
Al-Amien Prenduan, 22 Sya’ban 1432 H./ 24 Juli 2011 M.